Rabu, 30 Mei 2018

Wajah Islam di Film 212 The Power of Love




            Berawal dari perseteruan kecil antara Rachmat dan Adhin mengenai konteks tulisan yang menurut Adhin sangat bertolak belakang dan tidak mendukung agama sendiri. Perseteruan antara jurnalis dan fotografer ini terdengar hingga meja pemimpin redaksi majalah Republik, tempat kerja mereka. Si Bos kekeuh tidak lagi menayangkan tulisan Rachmat yang sangat menilai sinis aksi yang di lakukan umat islam, Rachmat berspekulasi bahwa hal ini bukan perkara penistaan agama saja, melainkan sudah ditunggangi politisasi. Merasa pemikirannya tidak di dukung, Rachmat memgancam ingin keluar dari tempat kerjanya itu, sedangkan pemimpin redaksi tidak rela kalau jurnalis terbaik lulusan Harvard ini pergi begitu saja,
dok. 212 movie

            Hingga suatu ketika Rachmat di telpon oleh keluarganya di Ciamis. Rachmat segera meninggalkan pekerjaannya dan masuk ke mobil bersama Adhin.  Ibunya Rachmat meninggal, sedangkan sudah sejak 10 tahun ia tak juga pulang. Selama di perjalanan Rachmat mengingat masa kecilnya, tentang dirinya dan keluarga sedang berada di dalam mobil, menyusuri jalan beraspal yang berkelok. Kemudian mobil oleng dan terjadi tabrakan. Hal itu membuat Rachmat menangis. Nah di scene ini penonton di buat bertanya-tanya tentang adegan kecelakaan ini, yang akhirnya terjawab di pertengahan film.

            Sesampainya di Ciamis, tempat kelahiran Rachmat. Suasana rumah sudah ramai dengan para pelayat, termasuk Yusna. Yusna adalah seorang gadis yang selama ini menemani ibunya Racmat hingga merawatnya hingga ujung wafat sang ibu. Rachmat menangis sejadinya di depan jasad sang ibu. Termasuk melihat Abahnya yang terlihat tegar, namun tetap menunjukkan wajah sedih. Rachmat masih memandang jutek Abahnya. Ya, hubungan Ayah dan anak ini ternyata memang tidak akur. Malah Rachmat pernah berkata pada Adhin, bahwa ayahnya sudah mati di hatinya. Perlakuan Rachmat pada ayahnya selalu cuek. Bahkan Rachmat ingin segera kembali ke Jakarta. Saking enggan bertemu dengan Abah.
dok. 212 movie

            Berita nasional mulai ramai menanyangkan mengenai aksi pada tanggal 2 Desember 2016 ini. Rachmat tetap berpikir bahwa ini adalah aksi konyol, yang nantinya akan menjadi maker dan tragedy 98 bisa terulang lagi. Rachmat tak mau membiarkan ayahnya ikut aksi ini. Racmat selalu berkata “Abah sudah tua Bangka, nanti kalo ayah sakit, saya juga yang repot..” ucap Rachmat pada ayahnya kala itu. Disini di tunjukkan bagaimana kesungguhan seorang Rachmat untuk menghalangi ayahnya yang sudah tua ini untuk mengikuti aksi damai 212. Abah Zainal dan para jamaah akan long march ke Jakarta. Perjalanan sejauh 300 kilometer. Dengan kesungguhan Rachmat ia tetap menghalau ayahnya, namun dengan kekuatan dan keyakinan si Abah. Abah Zainal tetap akan berjalan dengan para jamaah, semua Lillah karena Allah.  Berjalanlah mereka serempat menyusuri jalan Ciamis. Kadang kedatangan hujan dan berteduh seadanya. Ada hal menarik lagi, bahwa ketika rombongan sampai di Tasikmalaya, Dan di sambut oleh ustad setempat terjadi pergolakan di hati Rachmat. Ketika Abah bertemu sesama ustad dan melihat bahwa anak ustad itu tampan, dan kuliah di Kairo Mesir mendalami agama. Seketika itu, di pertengahan percakapan Rachmat langsung bertutur.. Saya Lulusan Harvard. Lulusan terbaik disana. “Percuma hebat lulusan Harvard tapi sholatnya masih bolong-bolong”, ucap si Abah.
dok. 212 movie, putihkan bioskop

            Rachmat selalu mengajak abahnya untuk kembali pulang. atau minimal pakai kendaraan bertiga meski tetap harus menuju Monas. Disana terjadi konflik antara Rachmat dan Abah. Namun Abah tetap tegas untuk tetap ikut aksi damai di Monas. Perjalanan tidak mudah, beberapa kali Abah sakit karena kondisinya yang sudah tua. Di sisi lain, Pemred Majalah tempat Rachmat bekerja menugaskan temannya Rachmat yang non muslim untuk meliput aksi damai pada 2 Desember 2016 itu. Ada keraguan pada jurnalis wanita itu, apalagi setelah Rachmat bilang bahwa aksi 212 ini akan jadi makar untuk menurunkan presiden seperti di tahun 98, aksi akan ricuh, dan akan di jadikan makar seperti masa lalu. Kegalauan menyeruak di dada jurnalis wanita non muslim ini.
            Namun ketika hari-H aksi ternyata semua terjawab, saat hendak meliput dengan pakaian khas jurnalisnya. Sempat di suruh turun dari atas ternyata justru diberi perbekalan makanan dan minuman dari salah satu peserta aksi dan mempersilahkan para wartawan untuk meliput aksi yang sebenar-benarnya. Di sapa dengan wajah yang santun dan hangat. Apalagi pada scene pasangan non muslim yang akan menikah di Gereja Katedral, sang jurnalis wanita ini sempat bertanya kepada mempelai, “Mengapa melakukan upacara di tengah aksi begini, kenapa tidak di undur saja hari pernikahannya?’. Kemudian mempelai wanita menajwab “Saya tidak masalah melakukan acara pernikahan ini, karena saya tahu judul aksi ini adalah aksi damai, makanya kami tetap melaksanakan upacara pernikahan kami..”.
dok. pribadi. kita nonton bareng

            Abah dan rombongan dari Ciamis telah sampai di Monas dan melaksanakan aksi damai. Lagi, Rachat tetap mengajak Abahnya untuk pulang saja, karena khawatir terjadi apa-apa. Kembali terjadi konflik terhadap ayah dan anak. Abah mulai mengungkit kejadian masa lalu. Dan kejadian ini mengajak penonton untuk mengingat bayangan Rachmat saat di awal film iini, tentang tabrakan yang terjadi saat Rachmat masih remaja. Dan kembali terkuak juga mengapa Rachmat acuh dengan abahnya selama ini, terungkap sudah kekecewaan Raachmat pada abahnya sehingga Rachmat sempat menganggap abahnya ‘mati’ di hatinya.
            Aksi damai ternyata berlangsung sangaat damai. Tidak ada kericuhan, apalagi makar. Hingga ku teringat dengan perkataan seorang peserta aksi.. “Kita yang tergerak karena iman, mana mngkin menjadikan amarah sebagai panglima. Menginjak rumput saja mereka tidak mau”. Ya rumput di area monas tidak terinjak sama sekali, makanan dari sesama saudara musim yang mensedekahkan jualannya untuk diberikan kepada petugas aksi melimpah ruah, namun tak ada satupun sampah berserakan setelah aksi. Di sini terdapat banyak keharuan yang terjadi. Dan inilah yang menunjukkan wajah islam yang sesungguhnya. Seperti sebuah satu kesatuan anggota. Sesama Muslim dengan Ridho Allah seperti sudah terstruktur bagiannya masing-masing ada yang menjadi petugas membersihkan sampah yang berserakan, dan semua saling membantu dan menjaga kebersihan, tidak menginjak rumput, semua menjadi satu komando. 
dok. pribadi. nontonn bareng FLP Lampung

            Abah memberikan pidatonya di depan podium. Beserta para ulama lainnya. Abah mengutarakan pemikirannya dalam aksi bela islam, yang mana ini semua tidak ada unsur politik apapun, ini hanyalah sebagai wujud kecintaan umat pada agamanya, islam. Yang meminta keadilan atas agama yang telah di nista. Umat islam ingin keadilan. Setelah aksi, Rachmat mengajak ayahnya pulang dan ia siap menemani Abah di Ciamis sepeninggal ibunya. “Bawa Abah pulang setelah sholat jumat berjamaah ya..”. Sholat jumat terbanyak jemaah nya di monas kala itu dilaksanakan, terlihat monas dikelilingi oleh peserta aksi yang berpakaian putih-putih. Terlihat dari drone sangat indah dan rapi. Jamaah yang rapat, dan gerakkan serentak mengikuti imam sholat jumat. Di akhir cerita, Abah drop di akhir sujudnya..
dok. pribadi

            Setelah sholat seluruh jamaah dari Ciamis segera menolong Abah, kemudian dibawa ke rumah sakit. Rachmat kembali ke Ciamis untuk mengambil perlemgkapan Abah di Rumah Sakit (Jakarta), kemudian Rachmat menemukan album yang tak sengaja terjatuh. Buku Album yang berisi penuh dengan artikel itu di buka oleh Rachmat. Termyata album itu berisi berbagai karya Rachmat selaku jurnalis menulis di berbagai media masa. Tak tertinggal satupun artikel tulisan Rachmat, semua lengkap disana. Kemudian Rachmat kini mengakui bahwa ayahnya sangat perhatian pada dirinya, jauh dari anggapan Rachmat selama ini. Apalagi ketika Yusna kembali mengingatkan saat Rachmat berkuliah di Harvard, Abah lah yang paling sedih ketika tahu Rachmat akan pergi. Untuk pertama kalinya, seorang Rachmat yang cuek dankeras hatinya ini menangis.
 Setelah beberapa hari Abah mendapatkan pengobatan. Abah dan Rachmat kembali ke Ciamis. Ayah dan anak ini kemudian mengunjungi ibunya yang baru beberapa waktu lalu memninggal dunia. Dalam ziarah itu, Rachmat mengutarakan curahan hatinya. Rachmat mengutarakan kelak suatu saat akan seperti Abah. Sebagai pendakwah.. karena itulah yang diinginkan seluruh Kyai kepada anak-anaknya, tutur Rachmat sambil membersihkan daun-daun kering di pemakaman ibunya. Kemudian si Abah dari atas kursi rodanya mengatakan bahwa ia tidak ingin anaknya menjadi kyai. Cukup Rachmat menjadi jurnalis yang jujur, menyampaikan berita secara sebenar-benarnya, itu jadi salah satu syiar dakwah, bermanfaat bagi sesama. Rachmat menatap abahnya sambil tersenyum.
dok. pribadi. nonton bareeng

Majalah Republik tempat Rachmat dan Adhin bekerja asudah mencetak berita terbaru tentang aksi 212. Adhin yang berpenampilan Rocker ini bergegas menuju percetakkan di kantornya dan melihat judul tulisan Rachnat. Kali ini tulisan Rachmat memberikan maknsa sebenarnya, dengan judul yang adem untuk aksi 212, ternyata Abahnya serta aksi 212 yang diikuti Rachmat telah mengubah pandangan radikal Rachmat selama ini tentang islam. Rachmat kembali menjadi sosok yang lebih baik lagi. Serta berusaha menjadi jurnalis yang diharapkan oleh abahnya. Dari pertengahan cerita film hingga akhir, terasa power yang di miliki film ini, tak heran bisa menghasilkan senyum, tawa, emosi. Bahkan haru yang tak berkesudahan. Senyum berkembang dengan mata yang berair karena haru setelah film ini begitu terasa. Film ini menjadi rekomendasi untuk kamu mengisi ngabuburit ramadhan dengan film baik dan kisah baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah menbaca tulisan saya, silakan tinggalkan komentar mari bersilaturahim :)